Assalamualaikum…
Apa kabar kamu? Masihkah sendu
seperti dulu?
Maaf aku lancang menulis sebuah
surat melalui sayembara yang dibuat penulis yang tanggal lahirnya sama persis
denganku.
Aku disini hanya ingin
menyampaikan satu hal, menyampaikan yang sampai detik ini belum mampu aku
sampaikan secara langsung, menyampaikan hal dengan bertatap wajah langsung, dengan
mata yang bertemu. Lebih tepatnya mengakui.
Hal yang terlalu berat untuk aku
katakan, entah aku masih pantas atau bahkan malah seperti wanita tidak tahu
malu yang ingin sedikit mencungkil kisah lalu.
Teruntuk kamu penggalan kisah
masa laluku, aku sempat berkata tidak akan pernah mau mengungkit ngungkit ini (lagi),
aku tidak bermaksud jahat dengan tidak memperdulikan semua tatapanmu untukku
(dulu). Karena aku sadar, aku faham, akan lebih indah menyimpannya sendiri
tanpa ada yang tahu,tanpa berharap ada yang peduli.
Sesungguhnya aku benci
mengatakan ini, aku benci harus menjilat ludahku sendiri. Dulu,saat masa putih
abu abu, kita pernah saling memadu kasih, saling mengumbar janji bahagia, tapi
tahukah kamu? Saat itu kamu bukanlah yang satu satunya untukku, kamu hanya
tempat aku berlabuh dari keputus asaan yang sedang aku alami, saat itu kamu
seperti air untuk melepas dahaga ku saat terik matahari di padang pasir luas.
Kamu tak lebih seperti ….. ah sudahlah. Jika ada kategori untuk wanita yang
paling tidak bisa menghargai kebaikan seseorang mungkin akulah pemenangnya.
Saat itu.
Ya saat itu. Saat keegoisan
masih mengutukku, masih betah berlama lama menguasaiku, saat untuk menyadari
hal semudah itupun aku tak sanggup. Menyadari bahwa semua yang kamu lakukan itu
tulus.. ya tulus.. dari hati.
Sedikitpun kamu tidak perlu
mengeluh dengan sikap kekanak kanakanku, selalu menjadi pendengar yang baik bahkan
saat aku membicarakan hal bodoh sekalipun.
Teruntuk kamu penggalan kisah
masa laluku, sungguh aku hanya ingin menyampaikan satu hal, “aku minta maaf”…
ya maaf.
Maaf untuk kesadaran yang
terlambat, seiring berjalannya waktu aku baru bisa membunuh rasa ego yang terlalu
besar ini, yang selama ini menutupi mataku untuk menyadari semua ketulusanmu.
Teruntuk kamu penggalan kisah
masa laluku.
Maaf untuk segala macam keraguan
yang pernah kuberikan. Percayalah, aku tidak pernah berniat jahat sedikitpun,
disela keraguan itu aku selalu belajar, belajar menghargai sikap baikmu,
pengertian dan kasih sayang yang baru kusadari sekarang, itu yang disebut
ketulusan.
Jika waktu dapat diulang,
rasanya aku ingin menjadikan mu satu-satunya (saat itu). Aku ingin menghargai
semua ketulusan yang kau berikan. Aku ingin membalasnya dan belajar mencintaimu
dengan tulus pula.
Tapi, jangan khawatir…
Aku tidak menginginkan semua
terulang kembali, aku sadar jalan kita berbeda, aku sadar tujuan kita tak sama,
biarkan kini aku menyimpannya sendiri, menyimpan semua keterlambatan ini,
menyimpan rapat-rapat, karena seperti yang pernah kukatakan, kadang yang
terlalu dalam sulit untuk mendapat penjelasan.
Teruntuk kamu penggalan kisah
masalaluku…
Berbahagialah kamu sekarang,
walau bukan aku yang menjadi bahagiamu, dan celakanya terkadang aku mengeluh
untuk itu. Seperti yang sering kukatakan, walau tidak secara langsung tapi
berharap kamu membacanya. Aku hanya ingin memperbaiki semua, bukan untuk
mengulang semua keterlambatan ini, tapi aku hanya ingin mengakhirinya dengan
lebih manis, mengakhirinya dengan kata maaf yang sempat tersampaikan.
Teruntuk kamu penggalan kisah
masalalu ku…
Kuharap sudi kiranya membaca
keterlambatan ini, kuharap kau mampu menerima alasanku saat itu, walaupun tetap
aku yang salah. Kiranya kau mau sedikit mencungkil kisah lalu itu.
“Aku ngga baik-baik aja dengan
keterlambatan ini.
Terlalu banyak ‘tapi’ yang sulit
dijelaskan.
Bahkan untuk menatapmu langsung,
aku rasa itu mustahil.
Maafkan aku yang pernah
membuatmu seperti mencintai angin, yang hanya dapat kau rasakan tanpa pernah
dapat kau peluk, kau miliki dan kau pastikan kehadirannya.
Aku yang hanya bisa selangkah
dibelakangmu.
Tanpa berani menyebut namamu
seperti yang sering kusebut dalam percakapanku dengan-Nya.
Naif memang, tapi biarlah
kuperjelas sekali lagi.
Semuanya terhenti oleh ‘tapi
yang menjadi-jadi’.
Dan terimakasih banyak kepada
salah satu penulis yang selalu kunikmati karyanya. Karena sayembara ini, aku
mempunyai tempat untuk mencurahkan semua keterlambatan ini yang entah sampai
kapan bisa tersampaikan jika harus secara langsung. Terimakasih.
Dari,
Penggalan Kisah Masalalu mu
Eka
Julia Risky
Surat ini di ikutsertakan lomba #SuratUntukRuth novel oleh Bernard Batubara.