Selasa, 01 April 2014

Surat Untuk Mantan


Assalamualaikum…
Apa kabar kamu? Masihkah sendu seperti dulu?
Maaf aku lancang menulis sebuah surat melalui sayembara yang dibuat penulis yang tanggal lahirnya sama persis denganku.
Aku disini hanya ingin menyampaikan satu hal, menyampaikan yang sampai detik ini belum mampu aku sampaikan secara langsung, menyampaikan hal dengan bertatap wajah langsung, dengan mata yang bertemu. Lebih tepatnya mengakui.
Hal yang terlalu berat untuk aku katakan, entah aku masih pantas atau bahkan malah seperti wanita tidak tahu malu yang ingin sedikit mencungkil kisah lalu.
Teruntuk kamu penggalan kisah masa laluku, aku sempat berkata tidak akan pernah mau mengungkit ngungkit ini (lagi), aku tidak bermaksud jahat dengan tidak memperdulikan semua tatapanmu untukku (dulu). Karena aku sadar, aku faham, akan lebih indah menyimpannya sendiri tanpa ada yang tahu,tanpa berharap ada yang peduli.
Sesungguhnya aku benci mengatakan ini, aku benci harus menjilat ludahku sendiri. Dulu,saat masa putih abu abu, kita pernah saling memadu kasih, saling mengumbar janji bahagia, tapi tahukah kamu? Saat itu kamu bukanlah yang satu satunya untukku, kamu hanya tempat aku berlabuh dari keputus asaan yang sedang aku alami, saat itu kamu seperti air untuk melepas dahaga ku saat terik matahari di padang pasir luas. Kamu tak lebih seperti ….. ah sudahlah. Jika ada kategori untuk wanita yang paling tidak bisa menghargai kebaikan seseorang mungkin akulah pemenangnya. Saat itu.
Ya saat itu. Saat keegoisan masih mengutukku, masih betah berlama lama menguasaiku, saat untuk menyadari hal semudah itupun aku tak sanggup. Menyadari bahwa semua yang kamu lakukan itu tulus.. ya tulus.. dari hati.
Sedikitpun kamu tidak perlu mengeluh dengan sikap kekanak kanakanku, selalu menjadi pendengar yang baik bahkan saat aku membicarakan hal bodoh sekalipun.
Teruntuk kamu penggalan kisah masa laluku, sungguh aku hanya ingin menyampaikan satu hal, “aku minta maaf”… ya maaf.
Maaf untuk kesadaran yang terlambat, seiring berjalannya waktu aku baru bisa membunuh rasa ego yang terlalu besar ini, yang selama ini menutupi mataku untuk menyadari semua ketulusanmu.
Teruntuk kamu penggalan kisah masa laluku.
Maaf untuk segala macam keraguan yang pernah kuberikan. Percayalah, aku tidak pernah berniat jahat sedikitpun, disela keraguan itu aku selalu belajar, belajar menghargai sikap baikmu, pengertian dan kasih sayang yang baru kusadari sekarang, itu yang disebut ketulusan.
Jika waktu dapat diulang, rasanya aku ingin menjadikan mu satu-satunya (saat itu). Aku ingin menghargai semua ketulusan yang kau berikan. Aku ingin membalasnya dan belajar mencintaimu dengan tulus pula.
Tapi, jangan khawatir…
Aku tidak menginginkan semua terulang kembali, aku sadar jalan kita berbeda, aku sadar tujuan kita tak sama, biarkan kini aku menyimpannya sendiri, menyimpan semua keterlambatan ini, menyimpan rapat-rapat, karena seperti yang pernah kukatakan, kadang yang terlalu dalam sulit untuk mendapat penjelasan.
Teruntuk kamu penggalan kisah masalaluku…
Berbahagialah kamu sekarang, walau bukan aku yang menjadi bahagiamu, dan celakanya terkadang aku mengeluh untuk itu. Seperti yang sering kukatakan, walau tidak secara langsung tapi berharap kamu membacanya. Aku hanya ingin memperbaiki semua, bukan untuk mengulang semua keterlambatan ini, tapi aku hanya ingin mengakhirinya dengan lebih manis, mengakhirinya dengan kata maaf yang sempat tersampaikan.
Teruntuk kamu penggalan kisah masalalu ku…
Kuharap sudi kiranya membaca keterlambatan ini, kuharap kau mampu menerima alasanku saat itu, walaupun tetap aku yang salah. Kiranya kau mau sedikit mencungkil kisah lalu itu.

“Aku ngga baik-baik aja dengan keterlambatan ini.
Terlalu banyak ‘tapi’ yang sulit dijelaskan.
Bahkan untuk menatapmu langsung, aku rasa itu mustahil.
Maafkan aku yang pernah membuatmu seperti mencintai angin, yang hanya dapat kau rasakan tanpa pernah dapat kau peluk, kau miliki dan kau pastikan kehadirannya.
Aku yang hanya bisa selangkah dibelakangmu.
Tanpa berani menyebut namamu seperti yang sering kusebut dalam percakapanku dengan-Nya.
Naif memang, tapi biarlah kuperjelas sekali lagi.
Semuanya terhenti oleh ‘tapi yang menjadi-jadi’.

Dan terimakasih banyak kepada salah satu penulis yang selalu kunikmati karyanya. Karena sayembara ini, aku mempunyai tempat untuk mencurahkan semua keterlambatan ini yang entah sampai kapan bisa tersampaikan jika harus secara langsung. Terimakasih.


Dari, Penggalan Kisah Masalalu mu
Eka Julia Risky

Surat ini di ikutsertakan lomba #SuratUntukRuth novel oleh Bernard Batubara.